9.3.09

Pokok Pokok Hukum Tata Negara Indonesia


POKOK-POKOK HUKUM TATA NEGARA INDONESIA
PASCA REFORMASI
PROF. DR. JIMLY ASSHIDDIQIE, SH.
c 2007 – Bhuana Ilmu Populer I, Mar 2007 – 916 halaman
Pustaka SemburatJingga 280407148000

Setelah reformasi yang ditandai oleh terjadinya satu serangkaian empat kali perubahan UUD 1945 mulai tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, sistem ketatanegaraan Republik Indonesia mengalami perubahan yang sangat mendasar. Untuk kepentingan studi hukum di perguruan tinggi, khusus di fakultas-fakultas hukum dan fakultas ilmu sosial dan politik di seluruh tanah air, diperlukan buku teks baru yang dapat menjelaskan berbagai persoalan hukum tata negara Indonesia dengan perspektif baru setelah reformasi.

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, para dosen mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum dan mata kuliah Pengantar Hukum Indonesia serta materi kuliah Hukum Tata Negara pada umumnya, baik di fakultas-fakultas hukum maupun fakultas ilmu sosial dan politik, dapat memanfaatkan buku ini sebagai bahan bacaan bagi para mahasiswa. Buku ini berisi materi hukum tata negara positif yang berlaku di Indonesia saat ini, terutama setelah adanya Perubahan UUD 1945 dan perubahan berbagai peraturan perundang-undangan.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Prof. Dr. Satya Arinanto, SH. MH. di dalam pengantarnya, bahwa semenjak pertama kalinya diajarkan dalam mata kuliah Staatsrecht di Belanda, Verfassungsrecht di Jerman, State Law atau Constitutional Law di Inggris. Droit Constitutionnel di Perancis dan dalam berbagai istilah mata kuliah lainnya di berbagai negara, materi perkuliahan Hukum Tata Negara – sebagai istilah yang lazim dipakai dalam Bahasa Indonesia – telah mengalami perkembangan yang sangat pesat.

Teori-teori ketatanegaraan yang terkait dengan masalah kewarganegaraan yang pada era modern ini lazim dikenal dengan istilah civic education, sebenarnya juga telah disinggung-singgung oleh Empu Prapanca pada saat menulis bukunya yang termasyhur, Negara Kertagama.
Atau salah satu kutipan yang terkenal sebagai landasan perubahan Konstitusi Australia yang disampaikan Benjamin Hoadly, Bishop of Bangor, pada 1717:
“Whoever hath an absolute authority to interpret
any written or spoken laws,
it is he who is trully the lawiver to all
intents and purposes,
and not the person who first wrote or spoke them”

Berkaca pada pengalaman berbagai negara dan juga termasuk Indonesia, sangatlah tepat kiranya jika pada era pasca reformasi ini, Prof. Jimly, seorang Guru Besar Hukum Tata Negara yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, berusaha untuk mengisi kekosongan buku-buku yang membahas mengenai Hukum Tata Negara Positif dengan penerbitan buku ini. ANDRETHERIQA 080209

Tidak ada komentar: